Di jantung Kalimantan Selatan, pada bulan Mei 2017, sebuah peristiwa akbar terukir dalam memori kolektif masyarakat. Bukan sekadar perayaan cinta dua insan, melainkan sebuah perhelatan megah yang menyatukan dua figur publik terkemuka, dua keluarga berpengaruh, serta menampilkan kekayaan budaya Banjar dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pernikahan antara Hj. Ananda, mantan Wakil Walikota Banjarmasin, dengan Dr. H. Aditya Mufti Ariffin, yang kini menjabat sebagai Walikota Banjarbaru, lebih dari sekadar pernikahan; ia adalah sebuah narasi tentang pertemuan takdir, penyatuan kekuatan, dan perayaan identitas budaya yang agung.
Peristiwa yang dijuluki sebagai "Royal Wedding of South Kalimantan" ini menjadi buah bibir tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional. Untuk memahami mengapa pernikahan ini begitu fenomenal, kita perlu menyelami latar belakang kedua mempelai, kekhidmatan prosesi adat yang dijalani, hingga puncak kemegahan resepsi yang memukau ribuan mata.
Mengenal Dua Tokoh Utama: Perpaduan Prestasi dan Kharisma
Kisah ini tidak akan lengkap tanpa mengenal lebih dalam kedua tokoh utamanya. Mereka bukanlah figur biasa. Keduanya memiliki rekam jejak prestasi dan latar belakang keluarga yang mengakar kuat di kancah sosial dan politik Kalimantan Selatan.
Hj. Ananda (Ananda S.Psi, M.Si), lahir pada 3 Juni 1984, adalah sosok perempuan yang citranya telah lama dikenal publik. Jauh sebelum terjun ke dunia politik, Ananda telah menorehkan berbagai prestasi gemilang. Namanya mulai dikenal luas ketika ia terpilih sebagai anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Nasional pada tahun 2001 di Istana Merdeka. Ini adalah pencapaian prestisius yang menjadi gerbang awal popularitasnya.
Kecerdasan dan pesonanya kembali terbukti saat ia memenangkan gelar Galuh Banjar pada tahun 2005, sebuah ajang duta budaya dan pariwisata yang sangat dihormati di Kalimantan Selatan. Puncaknya adalah ketika ia mewakili provinsinya di ajang Puteri Indonesia 2006 dan berhasil meraih posisi Runner-up 4 (Puteri Indonesia Lingkungan). Sederet prestasi ini membangun citra Ananda sebagai perempuan Banjar yang modern, cerdas, anggun, dan berprestasi. Kariernya kemudian berlanjut ke panggung politik, di mana ia terpilih sebagai anggota DPRD Kota Banjarmasin dan puncaknya menjabat sebagai Wakil Walikota Banjarmasin periode 2010-2015, menjadikannya salah satu wakil walikota termuda di Indonesia saat itu.
Di sisi lain, Dr. H. Aditya Mufti Ariffin, SH, MH, lahir pada 21 Maret 1984, juga bukan sosok sembarangan. Ia adalah putra dari H. Rudy Ariffin, Gubernur Kalimantan Selatan yang menjabat selama dua periode (2005-2015). Tumbuh dalam lingkungan politik membuat Aditya memiliki pemahaman dan intuisi yang tajam. Jejak politiknya pun tak kalah cemerlang. Sebelum menjadi Walikota Banjarbaru, Aditya telah berpengalaman sebagai anggota DPR RI selama dua periode (2014-2019 dan 2019-2024, meskipun ia mengundurkan diri untuk maju dalam Pilkada).
Kharisma, latar belakang keluarga yang kuat, dan karier politik yang solid menjadikan Aditya sebagai salah satu tokoh muda paling berpengaruh di Kalimantan Selatan. Penyatuan dua individu dengan latar belakang sekuat ini—Ananda dengan citra publik, prestasi, dan pengalaman eksekutifnya, serta Aditya dengan pengaruh politik dan garis keturunannya—secara otomatis menciptakan ekspektasi publik yang luar biasa terhadap pernikahan mereka.
Rangkaian Prosesi Adat yang Sarat Makna: Menjunjung Tinggi Tradisi Banjar
Salah satu aspek yang membuat pernikahan Ananda dan Aditya begitu istimewa adalah komitmen mereka untuk melaksanakan serangkaian prosesi adat Banjar secara lengkap dan khidmat. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah penghormatan mendalam terhadap leluhur dan upaya melestarikan warisan budaya. Rangkaian prosesi ini dimulai beberapa hari sebelum akad nikah.
1. Siraman dan Badudus:
Prosesi ini merupakan ritual penyucian diri bagi kedua calon mempelai yang dilakukan di kediaman masing-masing. Siraman menggunakan air kembang tujuh rupa yang melambangkan pembersihan diri secara lahiriah dari segala hal negatif. Namun, yang lebih unik adalah prosesi Badudus. Ini adalah ritual mandi uap tradisional khas Kerajaan Banjar. Calon mempelai duduk di atas balai-balai yang di bawahnya terdapat tungku berisi air rebusan rempah-rempah wangi. Uap dari rebusan ini dipercaya tidak hanya membersihkan tubuh, tetapi juga menenangkan jiwa dan pikiran, mempersiapkan calon pengantin untuk memasuki gerbang pernikahan dengan keadaan suci lahir dan batin.
2. Bapapai:
Setelah Badudus, dilanjutkan dengan Bapapai. Dalam ritual ini, para sesepuh perempuan atau orang tua akan memercikkan atau mengoleskan adonan wewangian yang terbuat dari mayang pinang, daun pandan, dan bunga-bungaan ke tubuh calon mempelai. Setiap olesan diiringi dengan doa dan restu, memohon keberkahan dan kebahagiaan bagi kehidupan rumah tangga mereka kelak. Ritual ini sarat dengan simbolisme kasih sayang dan harapan dari keluarga besar.
Pelaksanaan ritual-ritual ini secara lengkap menunjukkan bahwa pernikahan mereka bukan hanya tentang perayaan modern, tetapi juga sebuah pernyataan budaya yang kuat.
Momen Sakral di Masjid Agung Sabilal Muhtadin
Pada hari Jumat, 5 Mei 2017, momen yang paling ditunggu-tunggu tiba. Prosesi akad nikah dilangsungkan di Masjid Raya Sabilal Muhtadin, masjid terbesar dan menjadi ikon kebanggaan masyarakat Kalimantan Selatan. Pemilihan lokasi ini menambah nuansa sakral dan agung pada prosesi ijab kabul.
Di hadapan keluarga, kerabat, dan para saksi, Aditya Mufti Ariffin dengan satu tarikan napas mengucapkan ijab kabul dengan lancar, secara resmi mempersunting Hj. Ananda. Suasana haru dan khidmat menyelimuti seluruh ruangan masjid. Keduanya tampak serasi dalam balutan busana pengantin Banjar bernuansa putih gading yang elegan, memancarkan aura kebahagiaan yang tulus. Mahar pernikahan berupa seperangkat alat salat dan perhiasan emas menjadi simbol tanggung jawab sang suami kepada istrinya.
Puncak Kemegahan: Resepsi "Royal Wedding" di Gedung Sultan Suriansyah
Jika akad nikah adalah inti dari kesakralan, maka resepsi pernikahan yang digelar pada Minggu, 7 Mei 2017, adalah puncak dari kemegahan dan perayaan. Bertempat di Gedung Sultan Suriansyah, Banjarmasin, resepsi ini dihadiri oleh ribuan tamu undangan, mulai dari masyarakat umum, pejabat daerah, hingga tokoh-tokoh nasional.
Pusat perhatian pada malam itu tentu saja adalah kedua mempelai. Ananda dan Aditya tampil laksana raja dan ratu dalam balutan busana pengantin adat Banjar termegah, yaitu Busana Pengantin Bagajah Gamuling Baular Lulut. Ini adalah busana kebesaran yang dahulu hanya dikenakan oleh keturunan bangsawan atau keluarga kerajaan Banjar.
Busana ini didominasi oleh warna-warna cerah seperti kuning, hijau, dan merah, dengan hiasan benang emas dan payet yang gemerlapan. Mahkota pengantin yang rumit dan megah, kalung samban, serta hiasan-hiasan lainnya menambah kesan agung. Penampilan mereka seolah menghidupkan kembali kemewahan dan kejayaan Kesultanan Banjar di masa lampau.
Dekorasi gedung pun tak kalah spektakuler. Pelaminan dirancang menyerupai singgasana kerajaan dengan ornamen-ornamen khas Banjar yang kental. Seluruh elemen, mulai dari tata cahaya, alunan musik tradisional, hingga sajian kuliner khas Banjar, dirancang untuk memberikan pengalaman tak terlupakan bagi para tamu.
Lebih dari Sekadar Pernikahan: Simbol dan Warisan
Pernikahan Hj. Ananda dan Aditya Mufti Ariffin pada akhirnya menjadi lebih dari sekadar penyatuan dua insan. Ia menjadi sebuah simbol multidimensional:
- Simbol Penyatuan Politik: Pernikahan ini secara tidak langsung dilihat sebagai aliansi strategis antara dua keluarga politik besar di Kalimantan Selatan. Ia memperkuat jaringan dan pengaruh politik keduanya, yang terbukti di kemudian hari dalam karier mereka.
- Simbol Pelestarian Budaya: Dengan melaksanakan seluruh rangkaian prosesi adat secara otentik dan menampilkannya dalam skala besar, pernikahan ini menjadi etalase hidup bagi kekayaan budaya Banjar. Ia menginspirasi banyak pasangan muda untuk kembali melirik dan menghargai tradisi pernikahan adat mereka.
- Simbol Kebanggaan Daerah: Bagi masyarakat Kalimantan Selatan, pernikahan ini menjadi sumber kebanggaan. Perhelatan yang diliput luas oleh media nasional ini seolah mengangkat citra dan budaya daerah ke panggung yang lebih tinggi.
Kini, bertahun-tahun setelah perhelatan akbar tersebut, Hj. Ananda dan Aditya Mufti Ariffin terus melanjutkan perjalanan mereka, tidak hanya sebagai pasangan suami-istri, tetapi juga sebagai mitra dalam pengabdian kepada masyarakat. Kisah pernikahan mereka akan selalu dikenang sebagai sebuah perayaan cinta yang monumental, sebuah mahakarya budaya, dan sebuah peristiwa yang menegaskan bahwa tradisi dan modernitas dapat berjalan beriringan dalam sebuah harmoni yang megah dan indah.
