Di Balik Manisnya Donat: Mengurai Kontroversi Boikot Krispy Kreme di Tengah Isu Geopolitik
Aroma manis gula yang dilelehkan, tekstur lembut yang lumer di mulut, dan lampu ikonik "Hot Light" yang menyala sebagai penanda donat segar baru saja keluar dari panggangan. Selama bertahun-tahun, Krispy Kreme telah membangun citra sebagai merek yang identik dengan kebahagiaan sederhana, sebuah hadiah kecil untuk diri sendiri atau orang terkasih. Namun, di balik lapisan glukosa dan adonan yang menggugah selera, merek donat asal Amerika Serikat ini terseret ke dalam pusaran konflik geopolitik global yang rumit, menjadikannya salah satu target utama dalam gerakan boikot yang masif, termasuk di Indonesia.
Gerakan boikot ini bukanlah fenomena yang muncul tanpa sebab. Ia adalah simpul dari solidaritas global, aktivisme digital, dan sentimen kemanusiaan yang mendalam terhadap konflik Israel-Palestina. Artikel ini akan mengurai secara mendalam mengapa Krispy Kreme, sebuah merek yang tampaknya jauh dari urusan politik, menjadi sasaran boikot, bagaimana dampaknya terasa di Indonesia, serta dilema yang dihadapi oleh konsumen, pekerja, dan pemegang waralaba lokal.
Akar Masalah: Ketika Donat Menjadi Simbol Politis
Pemicu utama yang menyeret Krispy Kreme ke dalam daftar boikot terjadi setelah eskalasi konflik di Gaza pada Oktober 2023. Di tengah agresi militer Israel yang menuai kecaman internasional, berbagai cabang perusahaan multinasional di Israel menunjukkan dukungan mereka terhadap Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Salah satu yang paling viral dan memicu kemarahan global adalah tindakan dari Krispy Kreme Israel.
Melalui akun media sosial resminya, Krispy Kreme Israel mengunggah foto-foto yang menampilkan ratusan donat gratis yang dibagikan kepada para tentara IDF. Dalam salah satu unggahan, terlihat seorang tentara tersenyum sambil memegang sekotak donat, disertai dengan keterangan yang menunjukkan dukungan moral. Aksi ini, bagi para aktivis pro-Palestina di seluruh dunia, dianggap sebagai tindakan afirmatif yang terang-terangan. Krispy Kreme tidak lagi dilihat sekadar sebagai penjual donat, tetapi sebagai entitas korporat yang memberikan dukungan—meskipun dalam bentuk makanan—kepada militer yang dituduh melakukan kejahatan perang dan genosida.
Gambar-gambar tersebut menyebar dengan kecepatan kilat di platform seperti X (dulu Twitter), Instagram, dan TikTok. Narasi yang terbangun sangat kuat: "Setiap gigitan donatmu mendanai peluru" atau "Donat berlumur darah anak-anak Palestina." Terlepas dari apakah narasi ini sepenuhnya akurat secara finansial, dampaknya secara emosional sangat besar. Aksi dari satu waralaba di Israel telah mencoreng citra merek Krispy Kreme secara global.
Gerakan ini sejalan dengan kampanye Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS), sebuah gerakan global yang dipimpin oleh Palestina untuk menekan Israel secara ekonomi dan politik. Meskipun Krispy Kreme tidak secara resmi masuk dalam daftar target utama BDS, tindakan waralabanya di Israel membuatnya masuk ke dalam "daftar boikot organik" yang disusun dan disebarkan oleh masyarakat sipil di seluruh dunia.
Gelombang Boikot di Indonesia: Resonansi Solidaritas dan Fatwa MUI
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan memiliki sejarah panjang dukungan terhadap kemerdekaan Palestina, menjadi ladang subur bagi gerakan boikot. Solidaritas terhadap Palestina bukan hanya isu politik luar negeri, tetapi telah menjadi bagian dari identitas keagamaan dan kemanusiaan bagi sebagian besar masyarakat.
Seruan boikot terhadap Krispy Kreme dengan cepat mendapatkan daya tarik. Influencer, tokoh agama, dan pengguna media sosial secara aktif membagikan ulang bukti-bukti dukungan Krispy Kreme Israel kepada IDF. Gerai-gerai Krispy Kreme yang tadinya ramai oleh antrean pembeli, terutama saat lampu "Hot Light" menyala, mulai dilaporkan sepi di beberapa lokasi. Konsumen yang sadar akan isu ini mulai mencari alternatif, beralih ke merek donat lokal atau merek internasional lain yang dianggap "aman" atau netral.
Momentum boikot di Indonesia semakin diperkuat oleh keluarnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina. Fatwa tersebut mengharamkan tindakan mendukung agresi Israel, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk dengan membeli produk dari produsen yang secara nyata mendukung agresi tersebut.
Meskipun fatwa MUI tidak secara eksplisit menyebutkan nama merek seperti Krispy Kreme, ia memberikan landasan moral dan religius yang kuat bagi masyarakat untuk melakukan boikot. Fatwa ini menjadi justifikasi bagi banyak konsumen Muslim untuk meninggalkan merek-merek yang terafiliasi atau dianggap pro-Israel. Krispy Kreme, bersama dengan merek-merek besar lainnya seperti Starbucks dan McDonald’s, menjadi "korban" dari interpretasi publik atas fatwa ini.
Dilema Waralaba Lokal: Terjebak di Antara Dua Sisi
Di tengah panasnya isu boikot, penting untuk memahami struktur bisnis Krispy Kreme yang beroperasi dengan model waralaba (franchise). Di Indonesia, hak waralaba Krispy Kreme dipegang oleh PT Mitra Boga Adiperkasa (MBA), anak perusahaan dari PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI), sebuah raksasa ritel di tanah air.
Ini menciptakan sebuah dilema yang kompleks. PT MBA adalah entitas bisnis Indonesia, yang mempekerjakan ribuan warga negara Indonesia, mulai dari staf di gerai, pembuat donat, bagian logistik, hingga jajaran manajemen. Mereka membayar pajak kepada negara Indonesia dan menggunakan sebagian bahan baku dari pemasok lokal. Dari perspektif ini, memboikot Krispy Kreme di Indonesia secara langsung berdampak pada perekonomian lokal dan nasib para pekerjanya.
Manajemen Krispy Kreme Indonesia berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi, mereka terikat oleh citra dan kebijakan merek global. Di sisi lain, mereka harus menghadapi sentimen pasar lokal yang sangat kuat. Klarifikasi bahwa tindakan Krispy Kreme Israel tidak mewakili sikap Krispy Kreme Indonesia atau perusahaan induk global seringkali tidak cukup untuk meredam kemarahan publik. Bagi banyak aktivis boikot, selama sebuah merek secara global tidak mengutuk atau mengambil tindakan tegas terhadap waralabanya yang pro-agresi, maka seluruh entitas merek tersebut dianggap terlibat.
Para pekerja di gerai Krispy Kreme menjadi garda terdepan yang merasakan dampak langsung. Mereka harus menghadapi tatapan sinis, pertanyaan tajam dari pelanggan, atau bahkan gerai yang sepi pengunjung, yang pada akhirnya mengancam keamanan pekerjaan mereka. Mereka adalah wajah lokal dari sebuah konflik global, terjebak dalam perang proksi ideologis yang terjadi di meja kasir.
Dampak Nyata: Ekonomi, Sosial, dan Pergeseran Konsumen
Dampak boikot tidak bisa dianggap remeh. Secara ekonomi, penurunan penjualan dapat menyebabkan kerugian finansial bagi pemegang waralaba. Jika berlanjut dalam jangka panjang, ini bisa berujung pada penutupan gerai dan pemutusan hubungan kerja (PHK), menciptakan masalah sosial baru. Rantai pasokan lokal yang menyuplai bahan baku seperti tepung, gula, dan kemasan juga akan ikut terdampak.
Secara sosial, gerakan boikot ini telah meningkatkan kesadaran politik di kalangan konsumen. Keputusan untuk membeli atau tidak membeli sebuah produk kini tidak lagi hanya didasarkan pada rasa, harga, atau kualitas, tetapi juga pada nilai-nilai etis dan politis. Konsumerisme telah menjadi sebuah panggung ekspresi politik. Fenomena ini juga mendorong pertumbuhan merek-merek lokal. Banyak konsumen yang secara sadar beralih ke donat buatan UMKM atau kafe lokal sebagai bentuk dukungan terhadap ekonomi dalam negeri sekaligus sebagai pernyataan sikap menolak produk yang terafiliasi dengan Israel.
Namun, gerakan ini juga tidak luput dari kritik. Sebagian pihak berpendapat bahwa boikot seringkali salah sasaran, lebih banyak merugikan pekerja lokal daripada para pembuat keputusan di kantor pusat perusahaan multinasional atau pemerintah Israel. Selain itu, arus informasi di media sosial yang deras juga rentan terhadap misinformasi dan hoaks, di mana beberapa merek bisa menjadi target boikot tanpa bukti yang kuat.
Kesimpulan: Lebih dari Sekadar Donat
Kisah boikot Krispy Kreme adalah mikrokosmos dari dunia yang semakin terhubung, di mana tindakan di satu belahan dunia dapat memicu reaksi berantai di belahan dunia lain. Sebuah unggahan media sosial dari waralaba di Tel Aviv mampu membuat gerai di Jakarta sepi, menunjukkan betapa kuatnya kekuatan solidaritas digital di era modern.
Kontroversi ini mengajarkan kita bahwa di dunia saat ini, tidak ada lagi yang namanya "bisnis apolitis". Setiap merek, terutama yang berskala global, akan selalu berada di bawah pengawasan publik terkait sikap etis dan kemanusiaannya. Bagi konsumen, ini adalah pengingat bahwa setiap rupiah yang mereka belanjakan memiliki kekuatan—kekuatan untuk mendukung, menolak, atau menuntut perubahan.
Pada akhirnya, kontroversi Krispy Kreme adalah tentang sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar donat. Ini adalah tentang bagaimana sebuah produk konsumsi sehari-hari dapat menjadi simbol perjuangan, solidaritas, dan dilema moral. Di balik manisnya lapisan gula, terdapat pertanyaan pahit tentang tanggung jawab korporat, etika konsumsi, dan di mana kita sebagai individu berdiri dalam menghadapi isu-isu kemanusiaan global. Lampu "Hot Light" Krispy Kreme mungkin masih menyala, tetapi bagi banyak orang, cahayanya kini memantulkan bayang-bayang konflik yang terjadi ribuan kilometer jauhnya.


